Keindahan Pesona Surakarta di Akhir Pekan

By rubikomugglo - October 22, 2016



Jogjakarta dan Surakarta (Solo) adalah kota yang familiar. Secara historis mempunyai cerita yang hampir sama, boleh dikatakan mereka ini layaknya sepasang saudara. Mereka berdua sama sama terkenal dengan kota yang melestarikan budayanya, terutama budaya Jawa tentunya. Kedua kota ini juga menjadi pusat kerajaan pada jaman dulunya, Kasunanan Surakarta dan Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Dalam bidang Pariwisata, kedua kota ini telah menjadi daya tarik untuk para wisatawan datang melancong melihat keindahan mereka.

Saya sendiri tinggal di Jogjakarta, menikmati keriuhan kota ini sehari-hari. Kota yang ramai sejak pagi hingga malam hari. Melakukan rutinitas dari Senin sampai Jumat, datang ke kelas, bertemu dengan materi kuliah, dosen, presentasi, terus begitu. Hingga pada akhirnya akhir pekan datang, kepala yang sudah mulai penat meminta untuk sedikit beristirahat, mata juga meminta untuk dilihatkan tempat tempat baru, pikiran diminta untuk dibuka, lidah minta untuk merasakan masakan masakan khas kota lain, seluruh anggota badan sepakat untuk bertamasya. Mari ikutkan saja kata mereka.

Piknik Jogjakarta - Surakarta sebenarnya bukan perkara yang sulit. Banyak orang telah melakukan ini, tetapi Surakarta memang pilihan yang sangat tepat dan realistis untuk menghibur pikiran dari semua keriuhan Jogja. Saya langsung saja pergi ke Stasiun Lempuyangan, membeli tiket KA Prameks, menaikinya, dan menikmati satu jam lebih perjalanan itu. Banyak yang bisa saya saksikan, sawah yang masih hijau dan terbentang, manusia pinggir rel kereta api lalu lalang, setiap apa yang saya saksikan bagaikan bumbu perjalanan saya ini, membuat ini terasa lebih berkesan.



Sesampainya di Stasiun Purwosari, saya dijemput oleh seorang teman. Dia lalu membawa saya berkeliling menyusuri jalanan, melewati Sriwedari, Keraton Solo, dan Alun-Alun Selatan, kami lalu berencana untuk mengisi perut di sebuah warung makan. Saya berpesan kepada dia bahwa saya mau perjalanan ini terasa sangat otentik, dengan makanan, minuman, jajanan khas Surakarta atau tempat wisata yang rasanya menggambarkan "identitas" Surakarta. Warung tempat kami makan kali itu adalah Warung Bistik. Surakarta/Solo memang terkenal dengan Selat Solo dan Bistik-nya. Ketika kita melakukan pencarian di Google, sudah pasti Bistik menjadi salah satu makanan yang harus dicoba ketika menyambangi kota ini. Bistik yang saya coba kali ini adalah Bistik Lidah, saya sudah beberapa kali mencoba bistik daging dari kondangan-kondangan yang saya datangi dan kali ini saya ingin mencoba sesuatu yang sedikit berbeda. Bistik lidah sapi ini ternyata rasanya enak, bumbunya meresap dengan baik, dan empuk, tidak amis. Nikmat !

Selanjutnya teman saya membawa saya bertemu dengan guru saya di sebuah komunitas. Kami disambut dengan sangat ramah, dijamu dengan sangat baik. Kami lalu berdiskusi tentang permasalahan di komunitas kami. Tantangan apa yang ditemukan di Jogja, dan apa solusinya. Kami bertukar pikiran, membicarakan banyak hal dan tak terasa malam mulai semakin gelap. Kami pun berpisah, tetapi saya tetap mengingat bahwa keramahan orang Surakarta memang luar biasa.



Semakin malam, suasana kota Surakarta semakin meriah. Lampu lampu jalan mulai bersinar menerangi jalan. Seiring dengan makin gelapnya malam, perut kami pun kembali lapar. Saya direkomendasikan teman saya untuk mengunjungi sebuah warung yang menjajakan jajanan tradisional Surakarta namun dengan "packaging" yang lebih modern. Lalu, dibawalah saya ketempat itu, Gulo Jowo namanya. Benar yang dikatakan teman saya tadi, yang dijual disini adalah jajanan pasar yang telah "didandani". Menu yang kami pesan adalah klepon keju, ketan hitam, wedang angsle, dan wedang tape. Ini merupakan kali pertama saya mencoba wedang angsle, terdapat roti tawar, sagu mutiara, kacang hijau didalamnya, dengan kuah santan yang gurih. Hebatnya dari warung Gulo Jowo ini adalah idealisme mereka untuk membeli 97% bahannya dari pasar tradisional. Mengagumkan !




Keesokan harinya, kami melanjutkan pengembaraan kami di kota Surakarta. Terbesit untuk menyantap nasi liwet saat sarapan tapi akhirnya kami batalkan karena nasi liwet adalah pilihan yang "mainstream" walaupun benar otentik, akhirnya kami memilih Timlo Sastro, makanan khas berkuah bening dengan isi jeroan dan Sosis Solo. Uniknya dari warung Timlo Sastro adalah banyaknya kalender yang menghiasi dinding warungnya. Teman saya pernah bilang bahwa semakin banyak kalender, biasanya makin enak masakannya. Saya yakin dia pasti bergurau, tetapi dia menyatakan itu seperti aturan tak tertulis dari sebuah rumah makan. Saya tertawa saja dibuatnya.



Sehabis makan Timlo, rasa haus melanda, tak jauh dari warung Timlo Sastro terdapat Pasar Gede. Menurut teman saya, di dalam Pasar Gede ada penjual es Dawet yang sangat enak dan terkenal. Kami lalu menyusuri ke dalam pasar dan menemukan penjualnya, tempatnya sempit hanya sepetak stand pasar, tetapi orang yang membeli sangat ramai hingga mengantri. Dengan cekatan ibu penjual meracik dawetnya satu porsi demi saru porsi hingga tiba giliran kami. Semangkok dawet telah hadir di hadapan kami, kami nikmati benar dawet tersebut sembari melihat ibu itu terus melayani pembeli tanpa henti. Seporsi dawet terdiri dari dawet dengan selasih, ketan hitam, ketan hijau, jenang sumsum, air gula dan nangka. Sangat menyegarkan minum dawet ditengah teriknya Surakarta hari itu. 



Perut sudah kenyang, teman saya mengajak beranjak ke tempat lainnya. Kali ini dia membawa saya ke pasar lainnya, uniknya pasar yang ini tidak menjual bahan makanan seperti kebanyakan pasar lainnya melainkan pasar ini menjual barang barang antik. Pasar Triwindu adalah nama pasar tersebut. Seluruh penjual di pasar triwindu menjajakan barang antik, mulai dari topeng, piring, teko, onderdil, sampai lampu. Ketika masuk kesini, saya benar benar termangu dikarenakan keunikan pasar ini. Berkali-kali saya mengelingi dan menaiki lantai duanya. Spot favorit saya di pasar ini adalah di lantai duanya, gantungan berbagai lampu-lampu berwarna senja sangat pantas untuk dijadikan background sebuah foto. Indah sekali. Setelah puas berkeliling dan mengambil gambar kami berpindah ke lokasi lainnya.



Saat perjalanan diatas motor, saya sempat bertanya kepada teman saya terkait adanya taman atau ruang terbuka hijau di Surakarta. Pertanyaan tersebut saya lontarkan untuk membandingkan dengan Jogjakarta yang boleh dibilang taman kotanya bisa dibilang sedikit. Teman saya langsung membawa saya ke sebuah taman yang cukup besar bernama Balekambang. Teman saya sedikit bercerita bahwa Balekambang tak hanya dijadikan sebagai taman, tetapi dalam berbagai kesempatan Balekambang juga dijadikan tempat kegiatan / pementasan seni. Suasana Balekambang saya rasakan sangat teduh, sejuk dengan pepohonan rindang yang menutupi sinar matahari menusuk permukaan kulit kita. Saya menyempatkan diri untuk tidur di pelataran kolamnya dan tertidur cukup pulas. Setelah terbangun saya tersadar bahwa waktu liburan saya sudah habis, saya harus pulang kerumah. Ada rutinitas yang harus dilakukan di esok hari, saatnya untuk bersiap pulang. Liburan telah usai.

Walaupun hanya menghabiskan dua hari tetapi kesan menyenangkan sangat saya rasakan ketika menghabiskan waktu di Surakarta. Orang yang ramah, makanan yang enak, varian masakannya juga banyak, pasar tradisionalnya menggeliat. Sebagai orang Jogja, saya rasa sedikit menyesal karena tidak terlalu sering mengeksplorasi kota Surakarta ini. Ternyata banyak hal yang bisa dicoba dan dinikmati. Esok pasti akan kembali ! Pesona Surakarta memang luar biasa !

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah (www.twitter.com/visitjawatengah);



  • Share:

You Might Also Like

0 comments