Pendakian Pertama : Gunung Sumbing

By rubikomugglo - November 18, 2014


Cerita ini terjadi sekitar satu bulan yang lalu, berawal dari ajakan teman part-time saya. Saya tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya mendaki gunung, saya anggap itu suatu hal yang mudah, saya remehkan kegiatan ini, serius. Akhirnya setelah berunding, gunung yang kami pilih adalah gunung sumbing waktu itu, karena target sebenarnya adalah merbabu tetapi sedang tutup.

Persiapan pun dilakukan, teman-teman lain pun diajak, setelah semua kira kira siap kami mulai berangkat ke pos pendakian gunung sumbing. Yang saya ingat, hari itu hari jumat. Kami berangkat dari Jogja sekitar pukul 08.00 dan sampai pos pendakian pada pukul 11.00. Kami pun beristirahat, memesan makanan dan melaksanakan ibadah solat jumat sebelum mendaki.

Pukul 13.00 kami mulai pendakian, sedikit demi sedikit kami melangkahkan kaki, keringat mulai menetes ke sekujur tubuh. Terik matahari kala itu sungguh membuat gerah, berkali-kali kami meminum persediaan air yang kami bawa. Trek gunung sumbing sangat berat menurut kami yang tidak biasa mendaki gunung. Jalannya terus menanjak dengan debu dan batu sebagai teman perjalanan kami.

Tak terasa sudah hampir 5 jam kami mendaki, saya dan mas pras terpisah dari rombongan belakang. Kami berada sedikit diatas pos dua, kaki sudah tidak kuat untuk mendaki, kami pun beristirahat disana sambil mengabadikan momen sunset dengan gunung sindoro sebagai latarnya. Keindahan surgawi, begitu kata yang tepat kalau saya boleh mendeskripsikan foto tersebut. Kabut pun turun, dan dinginnya bukan main, badan kami menggigil seketika. Saya dan mas pras tanpa pikir panjang langsung menggelar SB dan berbaring disamping jalur mendaki sambil menunggu rombongan belakang untuk menyusul kami. Saking dinginnya, kami tak melepas sepatu dan langsung masuk ke SB, sarung tangan kami pakai, tolak angin kami hisap, badan terus bergerak agar tidak turun suhu tubuh kami. Malam mulai datang, tapi teman kami belum juga datang, dingin sudah mulai berkurang, kami pun mencoba untuk tidur saja, tak lama kemudian ada suara teman kami dari kejauhan. Langsung saya dan mas pras turun, ternyata ada salah satu teman kami Fajar yang sudah tidak kuat lagi mendaki. Kami pun membawa carriernya ke atas, lalu membuat tenda.


Siapa yang sangka dalam satu rombongan kami ini ada yang tidak tahan dingin, menggigil luar biasa, Deka namanya. Saya dan farid was-was bukan main saat deka tidak bergerak waktu kami panggil, kami goyang-goyang badannya pun tak ada reaksi, kami tampar pun tak ada balasan, lalu kamu pegang nadinya, alhamdulillah dia masih bersama kami. Kami membagi tugas, ada yang memasak air, ada yang membangun tenda, ada yang menghangatkan deka. Sebenarnya kami membuat tenda tidak pada tempat biasanya orang ngecamp, tapi tak apalah ini darurat. Kami lalu makan, minum serta beristirahat. Sungguh nikmat, mungkin hanya semangkuk mie rebus, namun makan dibawah sorot bulan purnama adalah anugerah.

Karena tenda tak cukup untuk menampung semua orang, ada beberapa orang tidur di luar tenda. Saya, farid dan mas pras sudah berniat tidur diluar tenda, tapi fajar memaksa saya tidur di dalam tenda agar terasa lebih hangat. Kami tidur pukul 10 malam, tapi pada jam 12 kaki fajar kram dan saya dipaksa keluar tenda. Memang kurang ajar si Fajar ini haha..dua jam tidur diluar tenda cukup membuat setengah badan saya mati rasa saat bangun. Jam 2 kami bersiap trekking ke puncak, perjalanan masih setengah jalan. Kami terus berjalan, tapi saat kita menoleh kebelakang ada pemandangan yang sangat indah. Lampu kota wonosobo bersinar dengan indahnya. Kesalahan yang kami lakukan saat pendakian puncak ini adalah kurang membawa stok air dan makanan, saya pribadi hanya membawa tolak angin, air dan roti hanya minta teman.

Yang paling berkesan dalam pendakian ke puncak ini adalah banyaknya undakan. Saya kira kita sudah sampai puncak, ternyata harus memutari satu puncak, lalu mendakinya, mencapai puncak lainnya dan masih ada puncak yang lebih tinggi yang harus didaki. Pada suatu momen, ketika di Pasar watu, semua sudah capek luar biasa. Saya untuk mendaki harus menyeret kaki saya dengan tangan dan bertumpu. Mas Pras sudah duduk tergolek lemas dan kaki kanannya kram serta kaki kirinya kesemutan. Deka duduk terdiam tak bicara sepatah katapun. Hanya Farid yang lancar trekking keatas tanpa masalah. Matahari sudah naik, rasanya sudah tak bisa kami melihat sunrise dari puncak. Tapi kami hanya berniat sampai ke atas dengan selamat, itu saja. Mulai kami menyemangati diri sendiri. Saya bilang ke diri sendiri dan teman-teman, kalau cukup, saya ke sini sekali, saya gak mau kesini lagi dalam waktu dekat, saya mau menjelajah gunung lain, dan karena hanya sekali maka buat ini berkesan, sampe puncak walau nanti sudah tengah hari, pokoknya puncak !


Kami lalu melanjutkan pendakian, sekitar jam 7 kami mencapai puncak. Ingin rasanya teriak disana, berteriak kalau sudah bisa mengalahkan diri sendiri. Berteriak kalau saya bisa dan berterima kasih kepada Tuhan atas restunya bisa mendaki sampai puncak. Kami pun lalu berfoto dan beristirahat. Kami sudah haus dan lapar bukan kepalang, sekitar pukul 10.00 kami turun ke camp. Tidak berbekal air sama sekali. Turun ke camp pun asal asalan, sudah kelewat lemas. Sampai camp, kami makan dengan lahap dan bersiap pulang. 


Saat turun ke basecamp, sudah terbayang dalam pikiran kami nasi telor + esteh. Pikiran sudah tidak fokus. Saya cuma bisa bilang perjalanan ini menakjubkan. Jumat siang naik, Sabtu malam sudah sampai Jogja, walau naik motor sedang menahan kantuk, Alhamdulillah selamat sampai rumah dan kita semua bertujuh tak kurang satu apapun. Pelajaran yang saya ambil, kalau ingin naik gunung persiapan harus benar benar matang dan memikirkan segala aspek. Saya jujur masih pemula, terimakasih gunung sumbing atas perjalanannya.

Team Mapala Manja : Suyo, Pras, Farid, Deka, Fajar, Frini.



  • Share:

You Might Also Like

0 comments